Daán yahya/Republika

Kala Yahudi Madinah Berkhianat

Peristiwa pengkhianatan kaum Yahudi ini terjadi pada bulan Dzulqaidah.

Oleh: Hasanul Rizqa

Masyarakat Madinah al-Munawwarah pada zaman Nabi Muhammad SAW terdiri atas berbagai elemen. Dari kalangan Arab, yang dominan adalah Suku Aus dan Khazraj. Di kota tersebut, ada pula para pendatang dari golongan Yahudi. Mereka berunsur banyak klan, tetapi yang mayoritas adalah Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.

 

Sebelum kedatangan Rasulullah SAW, Madinah memang dihuni mayoritas orang-orang Arab, tetapi mereka tidak mampu bersaing dengan kaum Yahudi di ranah ekonomi. Baik Bani Qainuqa, Nadhir, maupun Quraizhah memegang kendali atas kebanyakan pasar setempat. Alih-alih berdagang secara adil, mereka menjalankan praktik riba dan bahkan kecurangan.

 

Kepemimpinan Nabi SAW di Madinah mengubah drastis ketimpangan tersebut. Pertama-tama, Rasulullah SAW mengikat solidaritas seluruh unsur masyarakat setempat dengan Piagam Madinah. Kemudian, beliau mendirikan pasar-pasar baru demi menghadirkan keadilan di ranah ekonomi.

 

Berbeda dengan pasar-pasar yang dibesarkan dan dikuasai Yahudi Madinah, kompleks yang Nabi SAW inisiasi terbuka bagi siapapun. Tidak ada sewa lapak. Siapapun yang datang duluan, boleh memilih lokasi manapun yang disukainya di pasar tersebut. Rasul SAW juga melarang praktik penimbunan dan riba sehingga harga barang-barang menjadi lebih kompetitif. Terakhir, ada sosok pengawas pasar sehingga pedagang maupun pembeli dapat segera melapor bila menemukan pelanggaran di sana.

 

Inovasi yang dihadirkan Rasulullah SAW perlahan namun pasti melemahkan dominasi Yahudi atas perekonomian Madinah. Kini, bukan soal mana yang lebih dahulu kaya karena kompetisi terbuka lebar. Maka, siapapun entrepreneur yang bekerja keras, cerdas, dan jujur bisa menjadi pedagang sukses di sana. Bahkan, orang Muhajirin yang datang ke Madinah hanya berbekal baju di badan—semisal Abdurrahman bin Auf—dapat menjelma pengusaha makmur lantaran piawai berdagang secara fair di pasar-pasar rintisan Nabi SAW tersebut.

 

Kebencian orang-orang Yahudi pada Rasul SAW bagaikan bara dalam sekam. Mereka dendam karena merasa, tegaknya daulah Islam di Madinah mengancam posisi mereka. Namun, tidak mungkin menampakkan permusuhan kepada beliau secara terang-terangan. Sebab, Bani Aus dan Khazraj kini menjadi pengikut Nabi SAW yang setia. Keduanya bahkan lebih suka dipanggil sebagai kaum Anshar, alih-alih nama suku masing-masing.

 

Beberapa tokoh Yahudi menyesalkan hadirnya al-Musthafa di kota yang dahulu bernama Yastrib ini. Sebelumnya, mereka dapat dengan mudah bermitra atau bahkan mengadu domba antara Aus dan Khazraj. Kini, jangankan pengaruh politik, kendali ekonomi pun lepas dari tangan mereka.

DOK WIKIPEDIA

Pecahnya Perang Ahzab

 

Pada tahun kelima Hijriyah, orang-orang musyrik Makkah menggalang kekuatan militer untuk menyerang Madinah. Sebab, mereka hendak membalas dendam atas kekalahan dalam Perang Badar dahulu. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini musuh-musuh Islam itu membawa kekuatan besar yang terdiri atas banyak pihak.

 

Kaum Quraisy mengajak suku-suku Arab di luar Makkah untuk mengepung Madinah. Mendengar kabar ini, orang-orang Yahudi Madinah senang bukan main. Bani Nadhir, misalnya, malah terang-terangan hendak bergabung dengan koalisi yang dibangun Quraisy itu. Padahal, mereka terikat perjanjian Piagam Madinah.

 

Pemimpin Bani Nadhir, Huyai bin Akhtab, lantas mengajak tetangga Yahudinya, Bani Quraizhah, untuk ikut berkhianat pada Rasulullah SAW. Mulanya, Ka’ab bin Asad selaku pemuka Bani Quraizhah ragu-ragu. Apalagi, ia sangat mengetahui bahwa Nabi SAW selalu menghormati Piagam Madinah. Akan tetapi, bujuk rayu Huyai membuyarkan keraguannya sehingga mantap mencampakkan piagam perjanjian tersebut.

 

Pertempuran yang memperhadapkan antara Muslimin di satu sisi dan koalisi Quraisy di sisi lain ini dinamakan Perang Ahzab. Sebab, para musuh Islam membuat al-ahzab atau konfederasi. Beberapa waktu sebelum perang pecah, Rasulullah SAW memutuskan untuk membuat parit yang mengelilingi Madinah. Langkah ini beliau ambil usai bermusyawarah dengan para sahabat. Salah seorang dari mereka, Salman al-Farisi, mengajukan usul pembangunan parit. Sebab, di negeri asalnya—Persia—parit berguna sebagai bentuk pertahanan melawan gempuran musuh. Maka, Perang Ahzab ini dikenal pula sebagai Perang Parit (Ghazwat al-Khandaq).

 

Tentara Quraisy dan sekutunya terkejut begitu sampai di dekat Madinah. Sebab, bentangan parit menghalangi mobilitas mereka. Belum pernah orang-orang Arab itu menyaksikan strategi perang yang seperti ini.

 

Terpaksa, 10 ribu pasukan musuh itu bertahan di seberang parit. Sejumlah personel Quraisy sempat berupaya melewati parit tersebut, tetapi para pemanah Muslim dengan tangkas menghentikan mereka. Pengepungan Madinah ini berlangsung selama beberapa pekan.

 

Bani Nadhir dan Bani Quraizhah lalu melancarkan bantuan untuk pasukan Quraisy, padahal kedua suku Yahudi itu telah bersumpah di hadapan Nabi SAW untuk sama-sama melindungi kota ini—sebagaimana komitmen Piagam Madinah. Jauhnya jarak tempat tinggal mereka dari pusat Kota Madinah dimanfaatkan untuk diam-diam menyokong serangan musuh Islam.

 

Bani Nadhir, yang menetap sekira 2 mil dari Madinah, berkonspirasi diam-diam untuk membuat persenjataan berupa ketapel besar. Dengan alat itu, harapannya Quraisy dapat melontarkan batu besar ke arah Nabawi. Namun, eksekusi serangan jarak jauh itu berujung kegagalan.

 

Bani Quraizhah bahkan secara terang-terangan mengkhianati Piagam Madinah dalam momen Perang Ahzab ini. Sama seperti saudara Yahudinya, suku ini bertempat tinggal di pinggiran kota. Seperti diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam buku Hayat Muhammad, masyarakat Quraizhah dengan penuh semangat turun dari benteng-benteng mereka. Orang-orang Yahudi ini lalu memasuki rumah-rumah Muslimin Madinah terdekat dengan maksud mau menakut-nakuti penduduk.

 

Kaum Muslimin yang tinggal dekat benteng-benteng Bani Quraizhah bukannya tanpa perlawanan. Seorang sahabat yang juga bibi Nabi SAW, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, berhasil membunuh seorang mata-mata Yahudi Quraizhah yang berkeliling di benteng milik Hasan bin Tsabit, penyair Rasulullah SAW. Adapun isi benteng tersebut umumnya adalah kaum perempuan dan anak-anak. Ia merasa harus melindungi keselamatan mereka, dalam situasi di mana para lelaki Muslim dewasa sedang pergi berperang.

Pada tahun kelima Hijriyah, orang-orang musyrik Makkah menggalang kekuatan militer untuk menyerang Madinah.

Faktor Nu’aim

 

Sesungguhnya, Rasulullah SAW sudah mencium gelagat pengkhianatan yang dilakukan Bani Nadhir dan Quraizhah. Akan tetapi, Madinah hanya dijaga sekitar 900 pasukan Muslim, sedangkan musuh mencapai 10 ribu orang di seberang parit. Keterbatasan personel membuat beliau mesti berhati-hati dalam mengirimkan utusan ke berbagai titik, termasuk dalam rangka menyelidiki keadaan dua suku Yahudi tersebut.

 

Pada suatu malam, Nabi SAW bermunajat kepada Rabbnya. “Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu sesuai dengan apa yang Engkau janjikan,” demikian doa beliau.

 

Sementara itu, jauh dari tempat Rasulullah SAW berdoa, seorang tokoh Bani Ghatafan, Nu’aim bin Mas’ud, tengah berbaring dalam tendanya. Hatinya gelisah karena menyadari, apa-apa yang telah dilakukannya adalah suatu kesalahan.

 

Sebelum Perang Ahzab pecah, Bani Ghatafan didekati oleh Bani Nadhir untuk berkoalisi mengkhianati Nabi SAW. Karena merasa sudah akrab sejak lama, mereja menuruti saja keinginan rekan Yahudinya itu. Namun, kini Nu’aim sebagai seorang pemuka Ghatafan menginsyafi, Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun menyakiti kaumnya, dan bahkan telah mengangkat derajat mereka.

 

Nu’aim menyesal telah ikut terbujuk rayu orang-orang Bani Nadhir. Dengan kebulatan tekad, ia lantas memacu kudanya untuk menemui Rasulullah SAW. Sesampainya di Masjid Nabawi, lelaki ini mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan beliau.

 

“Wahai Rasulullah, sungguh mereka (Quraisy) dan sekutunya tidak mengetahui kabar keislamanku ini. Aku siap melaksanakan apa pun perintah engkau,” kata Nu’aim.

 

“Kembalilah kepada kaummu dan takut-takutilah mereka. Yakinkan bahwa sesungguhnya mereka lemah dan Muslimin kuat,” perintah Rasulullah SAW.

 

Instruksi Nabi SAW itu adalah sebuah taktik untuk melemahkan musuh-musuh Islam dari dalam. Maka, malam itu juga berangkatlah Nu’aim ke tempat kabilahnya berada. Sesudah itu, langsung saja ia bertamu ke benteng Bani Quraizhah.

 

Begitu melihat sosok Nu’aim bin Mas’ud, tokoh-tokoh Bani Quraizhah pun menyambutnya dengan wajah cerah. Mereka masih mengira, tamunya itu adalah bukan Muslim dan merepresentasikan orang Arab yang memusuhi Nabi SAW.

DOK WIKIPEDIA

“Wahai, Bani Quraizhah, ketahuilah! Apakah kalian akan selamat dari kaum Muslimin jika nanti orang-orang Quraisy pulang ke Makkah?” ujar Nu’aim membuka pembicaraan.

 

“Mengapa engkau berkata begitu?”

 

“Sekarang, kalian memang kuat lantaran bersekutu dengan Madinah. Namun, tahukah kalian betapa kini pasukan Quraisy benar-benar jenuh dengan pertempuran ini? Mereka merasa kelamaan tertahan di luar parit, sedangkan angin puyuh sudah menghancurkan perkemahan mereka,” papar Nu’aim.

 

Para pemuka Quraizhah pun kebingungan. Benar apa yang “dikhawatirkan” Nu’aim. Kalau pasukan Quraisy kembali ke Makkah, pasti posisi Quraizhah menjadi rentan. Apalagi, ketika Muhammad SAW mengetahui pengkhianatan yang dilakukan kabilah Yahudi Madinah ini.

 

Mereka pun menuruti saran dari Nu’aim, yakni meminta pihak Quraisy agar mengajukan sekurang-kurangnya 10 tokoh Makkah untuk terus mendampingi Bani Quraizhah. Sementara itu, sahabat Nabi SAW yang baru saja memeluk Islam itu telah kembali ke kaumnya sendiri.

 

Ia kemudian menemui Abu Sufyan, yang ketika itu memimpin pasukan musyrik Makkah. Kepadanya, Nu’aim pun menyatakan bahwa dirinya sangat mengenal karakteristik kaum Yahudi Madinah, termasuk Bani Quraizhah.

 

“Harus kalian semua ketahui! Saya melihat Bani Quraizhah telah berkhianat! Kalau kalian mau bukti, mereka pasti akan meminta 10 orang pemimpin Makkah guna dijadikan tebusan kepada Muhammad!” kata Nu’aim lantang.

 

Mendengar itu, Abu Sufyan terkejut bukan kepalang. “Bukankah orang-orang Quraizhah adalah sekutu kita!” katanya setengah berteriak.

 

“Kalau engkau tidak percaya, tunggu saja kenyataannya. Tidak lama lagi, orang-orang Yahudi itu akan meminta kepadamu 10 orang Quraisy agar ditahan di dalam benteng mereka,” ujar Nu’aim lagi.

 

Benar saja. Begitu pagi menjelang, datanglah seorang utusan Bani Quraizhah. Duta ini menyampaikan permintaan yang persis seperti yang telah diungkapkan Nu’aim bin Mas’ud. Abu Sufyan marah sekali, tetapi tidak menampakkannya kepada tamu tersebut.

 

Demikianlah, kecerdikan mualaf tersebut telah memecah konsentrasi musuh. Tidak lama kemudian, sekira satu bulan sejak Madinah dikepung, Allah mengirimkan angin puyuh kepada tenda-tenda pasukan Quraisy dan sekutu. Misi mereka untuk menyerang Madinah gagal total.

DOK WIKIPEDIA

Hadapi pengkhianat

 

Sesudah nyata akhir dari Perang Ahzab, kini saatnya Nabi Muhammad SAW menyelesaikan urusan dengan pihak-pihak yang telah mengkhianati Piagam Madinah. Beliau menemui Bani Nadhir. Sesampainya Rasulullah SAW di hadapan mereka, orang-orang Yahudi enggan menemuinya dan bahkan mengancam akan berperang melawan umat Islam.

 

Kelancangan Bani Nadhir ini karena mereka dijanjikan bantuan oleh Ibnu Salul, pasukan dari Bani Quraizhah dan Bani Ghatafan. Mendengar penolakan kabilah Yahudi ini, Rasulullah SAW pun membawa pasukan untuk mengepung benteng-benteng kediaman Bani Nadhir. Dari dalam benteng mereka, kaum Yahudi itu menghujani Muslimin dengan anak panah dan bebatuan. Sementara, bala tentara yang dijanjikan dari Quraizhah dan Ghatafan tak kunjung datang.

 

Lama kelamaan, para petinggi Bani Nadhir berputus asa. Akhirnya, mereka menyerah. Rasulullah SAW memutuskan untuk mengusir mereka dari Madinah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jumadil Ula.

 

Kemudian, Nabi SAW memimpin pasukan Muslimin ke kantong-kantong wilayah Bani Ghatafan. Melihat kedatangan al-Musthafa, orang-orang yang telah mengkhianati Piagam Madinah ini ketakutan. Mereka lari ke bukit-bukit dan meninggalkan harta bendanya begitu saja. Pada momen yang disebut sejarawan sebagai Peristiwa Dzatu ar-Riqa’ ini, untuk pertama kalinya Rasulullah SAW melaksanakan shalat berjamaah secara khauf. Itu agar Muslimin tetap siaga bila musuh kembali menyerang.

 

Selanjutnya, Rasul SAW beranjak ke tempat Bani Quraizhah berada. Jelas terbukti bahwa kabilah Yahudi ini telah berkhianat. Sama seperti Bani Nadhir, mereka kala Perang Ahzab berlangsung telah menimbulkan bahaya pada Muslimin. Bahkan, beberapa orang Islam telah diserangnya secara terang-terangan.

 

Karena pengkhianatan itu, Bani Quraizhah pantas dijatuhi sanksi berat. Mulanya, mereka berusaha melakukan negosiasi dengan Rasulullah SAW agar hukuman untuknya disamakan saja dengan Bani Nadhir. Namun, beliau menolak tawaran itu.

 

Sebelum menjatuhkan putusan final, Rasul SAW memberikan jalan, yakni melalui perantaraan seorang sahabat beliau, Sa’ad bin Mu’adz. Waktu itu, pemuka Suku Aus tersebut sedang luka-luka akibat panah pasukan musyrikin dalam Perang Ahzab. Perannya penting karena ia dekat dengan para pemuka Bani Quraizhah sejak masa pra-hijrah.

 

Mendengar kabar itu, orang-orang Yahudi Quraizhah bergembira. Dalam bayangan mereka, Sa’ad akan meringankan hukuman lantaran hubungan yang pernah terjalin antara Aus dan Quraizhah pada masa Jahiliyah dahulu. Namun, sang sahabat Nabi SAW justru mengusulkan sanksi amat tegas.

 

“Para muqatilah (dari kaum Bani Quraizhah) dihukum mati, sedangkan kaum wanita dan anak-anak mereka jadi tawanan,” katanya.

 

Dalam riwayat lain disebutkan, ada sahabat Nabi SAW lainnya yang menemui Bani Quraizhah. Dialah Abu Lubabah bin Abi Mundzir al-Anshari. Di hadapan lelaki Suku Aus itu, orang-orang Yahudi ini berkata, “Bagaimana pendapatmu bila kami melepaskan diri dari Muhammad?”

 

Pertanyaan itu membuat Abu Lubabah kesal dan dijawab dengan isyarat tangan di leher sambil berkata “Kalian akan dipenggal.” Setelah meninggalkan perkampungan Yahudi itu, barulah ia tersadar apa yang telah diucapkannya.

 

Abu Lubabah menginsyafi, perkataan itu seakan-akan mendahului ketentuan Allah dan Rasul-Nya mengenai nasib kaum Quraizhah. Dengan penuh penyesalan, ia pulang, tetapi tidak langsung ke rumah, melainkan ke arah Masjid Nabawi. Di dekat masjid tersebut, ia mengikatkan diri pada sebuah tiang.

 

Abu Lubabah berjanji tidak akan melepaskan ikatan itu sebelum Allah membebaskan dosanya dari perbuatan yang ia telah lakukan. Beberapa sumber menyebutkan, ia mengikatkan diri selama enam hari.

 

Jika waktu shalat tiba, istrinya datang membuka ikatannya. Setelah shalat, ia kembali diikatkan seperti semula. Saat Rasulullah SAW diberi tahu tentang kondisi Abu Lubabah, beliau sengaja membiarkannya. Hingga turunlah surah at-Taubah ayat ke-102.

 

Artinya, “Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

 

Rasulullah SAW segera memberi tahu kabar turunnya wahyu ini kepada keluarga Abu Lubabah. Maka, sang sahabat Nabi SAW bersujud syukur. Di kemudian hari, dirinya juga bangga karena telah turun ayat Alquran yang khusus mengenai dirinya.

 

Tentang hukuman bagi Bani Quraizhah, Rasul SAW lebih condong pada pendapat Sa’ad bin Mu’adz. Jadilah eksekusi mati dijalankan atas para pengkhianat tersebut.

DOK WIKIPEDIA

Momen ini sering kali menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan. Bahkan, beberapa orientalis, semisal Montgomery Watt menjadikan peristiwa tersebut sebagai dalih untuk menyatakan, Muhammad SAW adalah seorang yang “haus darah.”

 

Pangkal sebabnya adalah, muncul keterangan bahwa orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang dijatuhi hukuman mati saat itu mencapai ratusan orang. Ada yang menyebut angka 600, 700, 800, atau 900 jiwa. Dari manakah sumber penyebutan itu, padahal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim hanya memuat masukan dari Sa’ad ihwal kasus Suku Quraizhah, bukan angka-angka fantastis itu?

 

Menurut Ustaz Yendri Junaidi dalam sebuah artikelnya di Harian Republika (2020), angka ratusan jiwa itu bersumber dari sirah atau buku biografi Nabi Muhammad SAW yang disusun Ibnu Hisyam. Penulis yang wafat pada 833 Masehi itu menulis demikian, “Jumlah mereka (orang Quraizhah yang dihukum mati) antara 600 atau 700 orang. Prediksi tertinggi menyebutkan jumlah mereka antara 800 sampai 900 orang.”

 

Ustaz Yandri mengatakan, perlu nalar kritik sirah digunakan dalam mencerna keterangan Ibnu Hisyam. Untuk diketahui, penulis sirah tersebut hidup pada abad kedua Hijriyah. Artinya, Ibnu Hisyam tidak menyaksikan langsung peristiwa eksekusi mati tersebut.

 

Kemudian, mesti dikaitkan pula keterangan tersebut dengan riwayat yang dimuat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Sa’ad menyarankan kepada Nabi SAW agar yang dihukum mati hanyalah kalangan muqatilah dari orang-orang Quraizhah. Muqatilah berarti tentara yang aktif ikut berperang, bukan warga sipil—apalagi wanita dan anak-anak. Jika demikian halnya, jumlah muqatilah dari Bani Quraizhah tidak mungkin mencapai ratusan orang.

 

Lebih lanjut, Ustaz Yandri menyebut adanya buku lain yang menceritakan peristiwa pada bulan Dzulkaidah tersebut, yakni kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam. Di sana, terdapat riwayat Ibnu Syibah az-Zuhri sebagai berikut.

 

Dari Humaid, dikatakan, “Kami disampaikan Abdullah bin Shalih, ia berkata, ‘Saya disampaikan Aqil dari Ibnu Syihab (bahwa) Rasulullah SAW berangkat menuju Bani Quraizhah lalu mengepung mereka. Sampai akhirnya, mereka mau menerima keputusan Sa’ad bin Mu’adz. Sa’ad memutuskan bahwa laki-laki mereka (yakni kelompok muqatilah) dibunuh. Adapun wanita dan anak-anak mereka ditawan, dan harta mereka dibagi-bagi. Maka dibunuhlah dari mereka (muqatilah) di hari itu sebanyak empat puluh (40) orang.’”

 

“Memang, riwayat ini bersifat mursal karena Ibnu Syibah az-Zuhri adalah seorang tabiin yang tidak bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Meski banyak ulama hadis yang menilai ini lemah, tetapi ini masih jauh lebih baik daripada angka ratusan yang disebutkan Ibnu Hisyam tanpa sanad,” ujar Yandri.

 

Tambahan pula, Ibnu Hisyam sendiri menyebutkan bahwa orang-orang yang akan dibunuh itu sempat digiring ke Madinah. Kemudian, mereka ditahan di dalam rumah milih Bintu al-Harits, wanita dari Suku Najjar.

 

Kalau jumlah mereka sebanyak—katakanlah—enam ratus orang, mungkinkah rumah itu muat menampungnya? Karena itu, lanjut Yandri, keterangan dari Ibnu Hisyam patut dikritisi.

 

Lantas, apakah penjatuhan hukuman mati otomatis berarti Nabi SAW keji dan kejam? Dalam hal ini, jelas bahwa Rasulullah SAW bukanlah seorang pengecut, yakni berlaku lembut pada kondisi yang semestinya tegas. Bukan pula seorang yang ceroboh, yakni keras tatkala semestinya lembut.

 

Yang dihadapi beliau dan Muslimin adalah orang-orang yang memang sepenuh hati dan segenap daya upaya memusuhi umat Islam. Orang-orang Yahudi ini juga telah berbuat banyak demi memuluskan misi Quraisy menghancurkan Madinah.

 

Kalau sampai Perang Ahzab dimenangkan kaum musyrikin, mereka tentu ikut melenyapkan Muslimin. Terhadap orang-orang ini, tepatlah bila bersikap tegas dan keras.

 

Representasi watak Yahudi itu terbaca dalam sikap tokoh mereka, Huyai bin Akhtab. Pada detik-detik menjelang dieksekusi mati, ia masih sempat berkata kepada Rasulullah SAW: “Setiap orang pada akhirnya akan merasakan kematian. Aku tidak akan menyalahkan diriku dalam memusuhimu.”

 

Kemudian, Huyai berseru pada kaumnya, “Saudara-saudara! Tidak mengapa kita menjalani perintah Tuhan yang telah menakdirkan Bani Israil menghadapi perjuangan ini!”

 

Ada pula seorang tokoh Bani Quraizhah, Zubair bin Bata. Dahulu, ia pernah berjasa pada Sabit bin Qais, seorang sahabat Nabi SAW. Maka, berulang kali Sabit memohon kepada Rasul SAW agar membebaskan istri, anak, dan harta orang Yahudi itu. Permohonan tersebut pun dikabulkan beliau.

 

Hingga kemudian Zubair bertanya tentang keadaan Huyai dan rekan-rekannya yang sesama gembong (muqatilah) Yahudi. Sabit berkata kepadanya bahwa mereka semua sudah dieksekusi mati. “Kalau begitu, susulkanlah saya kepada mereka. Tanpa mereka, tidak betah saya berlama-lama di dunia ini. Biarlah saya segera bertemu dengan orang-orang yang saya cintai itu,” ujarnya kepada Sabit. Dengan demikian, hukuman mati dijalankan juga atas permintaan si Yahudi ini sendiri.

 

Pada prinsipnya, jelas Haekal dalam buku Hayat Muhammad, Rasulullah SAW dan Muslimin dalam kasus Bani Nadhir dan Bani Quraizhah hanya menghukum mati kaum muqatilah, dan membiarkan para wanita dan anak-anak Yahudi tersebut. Perkecualian pada seorang perempuan Yahudi yang terbukti pada masa Perang Ahzab telah membunuh seorang Muslim dengan lontaran batu besar.

 

Mengenai hukuman mati pada si wanita Yahudi, ummul mukminin ‘Aisyah RA memberikan kesaksian: “Tentang dia, sungguh suatu hal yang aneh dan tidak bisa kulupakan. Ia banyak tertawa, padahal tahu akan dihukum mati.”

 

Waktu itu, ada empat orang Yahudi yang terbebas dari tebasan pedang algojo. Mereka menyatakan diri masuk Islam dan bertobat.

top